Kekerasan Sosial
REP | 25 April 2012 | 14:56
Kekerasan sosial seolah menjadi bahasa baru bagi pemerintah, pejabat publik, dan anggota dewan yang senang
memaksakan kehendaknya. Akibatnya, perilaku kekerasan dari hari ke hari
semakin mengeras di republik ini. Hal itu terlihat manakala kebijakan
pemerintah cenderung tidak berpihak pada masyarakat. Saat itulah
pemerintah dinilai melakukan kekerasan sosial terhadap rakyatnya. Pejabat publik dan anggota dewan dengan semangat guyup rukun memakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tabiat korupsi semacam itu oleh warga masyarakat dikategorikan kekerasan sosial.
Bagi masyarakat, kekerasan sosial menjadi budaya baru ‘bernuansa indah’ meski harus memakan korban nyawa dan harta. Hal itu, terlihat dari aksi geng motor yang melakukan kekerasan di jalanan. Aksinya menjadi trending topic
di jejaring sosial. Bahkan media massa pun tidak ketinggalan merilis
aksi tersebut. Berdasar catatan Indonesia Police Watch (IPW) seperti
dikutip Kedaulatan Rakyat (16/4), tiap tahun di Jakarta 60 orang tewas
akibat ulah geng motor. Tahun 2011, 65 tewas. Setahun sebelumnya, 62
tewas. Sedang tahun 2009 yang tewas 68 orang. ‘’Pembiaran yang dilakukan
polisi terhadap geng motor memicu kekerasan sosial, dan aksi main hakim
sendiri, ‘’ papar Ketua Presidium IPW Neta S Pane.
Sebelumnya, kekerasan sosial membekas di sanubari rakyat Indonesia saat terjadi gerakan bersama menolak rencana naiknya harga bensin. Demonstrasi berkobar di beberapa kota besar berakhir ricuh. Pelaku kekerasan sosial menjalankan aksinya dengan menjebol pagar DPR RI dan membakar apapun. Bentrokan pun terjadi antara petugas melawan peserta aksi demo. Kekerasan sosial pun menemukan bentuknya secara sempurna.
Kekerasan sosial menolak kenaikan harga bensin dan kenekatan geng motor menarik perhatian para jurnalis warga. Mereka mengabarkannya
lewat media jejaring sosial. Akibat timeline Twitter dan status
Facebook yang dikirimkannya, warta kekerasan sosial semacam itu pun menjadi trending topic di
media jejaring sosial. Media massa cetak dan elektronik pun tidak mau
ketinggalan meliput acara yang mampu menyedot perhatian jutaan warga.
Paparan
di atas contoh fenomena kekerasan sosial yang berkembang pesat di ruang
publik, jejaring sosial dan media massa. Belakangan ini oleh media
televisi, kekerasan sosial diubah maknanya menjadi barang komoditi yang
laik jual. Kenapa hal itu terjadi? Karena ada pemikiran apa
pun bentuk kekerasannya, dijamin layak jual. Hal itu didukung tabiat
orang yang terlibat sebagai pelaku kekerasan sosial menjadi sangat
ekspresif dalam mengekspresikan ketidakpuasannya. Atas dasar itulah, beberapa stasiun televisi swasta memosisikan diri sebagai ‘agen penjua’l kekerasan sosial. Mereka membungkus kekerasan sosial menjadi sebuah komoditas yang laris untuk dikomodifikasikan.
Bentuk konkret komodifikasi kekerasan sosial yang disuguhkan media televisi selalu ditandai dengan tayangan visual aneka kekerasan sosial secara detail dan vulgar. Sang
kameramen akan menyorot siapa pun dan apa pun yang ditengarai
menghasilkan obyek dagangan bernama kekerasan sosial. Sedangkan sang
reporter dengan suara terengah mengabarkan apa yang dilihatnya.
Deskripsi visual yang dideskripsikan sang reporter terkadang tidak masuk
akal. Kepiawaian dalam menyusun narasi sebagai modal dasar
mendeskripsikan sebuah realitas sosial yang dilihatnya pun disampaikan
secara dangkal.
Saat ini, tayangan kekerasan sosial di televisi dengan amat gamblang, vulgar dan dramatis dapat disaksikan secara gratis. Pesan verbal dan pesan visual dalam tayangan komodifikasi kekerasan sosial terlihat hidup sehidup-hidupnya. Keberadaannya mampu membangkitkan desakan emosi yang tidak mampu dikontrol tiap penonton. Di sisi lain, atas nama kuasa rating,
suasana yang dibangun dalam tayangan komodifikasi kekerasan sosial
adalah situasi yang dikesankan mencekam. Bangunan suasana semacam ini
sangat dibutuhkan oleh pengelola stasiun televisi untuk menggapai
kucuran dana iklan. Pada titik ini proses jual beli sah hukumnya.
Itu
yang didapatkan pihak televisi. Lalu apa yang diperoleh warga
masyarakat atas tayangan komodifikasi kekerasan sosial? Budaya visual seperti apakah yang sedang diusung pihak televisi ketika menghadirkan tayangan komodifikasi kekerasan sosial? Siapakah peduli akan hal ini?
*)Sumbo Tinarbuko (www.sumbotinarbuko.com) adalah
Pemikir Budaya Visual dan Dosen Komunikasi visual ISI Yogyakarta.
Artikel ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 25 April 2012.
0 komentar:
Posting Komentar